10/15/2008

Langit Ke 3

... Baru Kulalui langit tingkat ke dua ...

Tak pernah Kugantungkan asa kecuali peluh yang mengena
Dalam kerimbunan
Kulalui atap langit dengan kepakan sayap pegasus

Aku terkulai
Tak Kudapatkan rona merah wajah langit yang menawan
Atau biru cerah yang memikat kalbu
Kuterkulai dalam lelah
Tak pernah Kusuah wajah langit


Suatu ketika kulalui tingkat langit Pertama

Kutemukan wajah langit bumi andalas
Ia lelap hilang karena terpaut kasta yang berbeda
Ia terlalu ningrat untukKu …


Dan pada tingkatan ke 2

Ia tak pernah peduli
TinggalkanKu dalam kepongahan
Ia buta ... Ia resah ...
Ia hanya pedulikan kebahagiaan sendiri

Kutemukan lagi wajah langit
Tapi Ia hanya fatamorgana gelap dalam sesat
Karena ternyata Ia tak pernah ada dihatiKu
Kulihat sinar rona wajah langit
Tapi … Ia bukan apa-apa
Ia hanya harapan yang berputar menghibur diri
Tapi tak pernah pedulikanKu yang meratap lelah lalu tersungkur

Ku kecewa ... FiuuUHHhh!!!

Tak ada lembut merona bak sutra yang mewangi
Bukan!!! bukan langit cintaKu yang Kucari
Tapi kesabaran hati yang menggugur layu
Membuahkan cerita langit hanya sebatas lalu
Kutatap pucat setia wajah langit
Halus pengertian seakan berkata
Berlalulah …

Ketika kutahu
Aku melainkan siapa


Langit ke 3

Kan Kusapa dahulu ...

Ingin Kutemukan semu wajah langit meyakinkanku
Walau Ia pun bukan apa apa
Andai Kutatap bening air mata mengalir
Andai masih sempatkan haturkan senyum untukKu
Tak kan Kulepaskan
Karena Ku tahu
PerjalananKu masih jauh

Sampai akhir kepakanKu di penghujung Langit ke 3
... Ku tahu
Ia adalah akhir perjuanganKu
Dalam Lelah bersama Kita tanggung
Duka lara menjadi hiburan
Dan Kita pun akhirnya lenyap bersama
Ketika Kutambatkan hasrat dengan kepolosan

Kedunguan serta ketidak mampuanKu
Betapa diriKu tak punya apa apa
Hanya sayap renta yang Ku punya
Kitapun akhirnya lenyap bersama
Bersama awan dan halu biru langit kelam
Kan Kubenci dia karena cinta
Kan Kubosan dalam kasih sayang

Akhirnya Kulepas derita langit
Kutak ingin lagi temukan prahara langit
Atau tatap wajah langit ...
Biarkan Kulalui derita dan jatuh ke bumi
Bersama impian dan khayalan
Hingga serta Kuterjaga
Beriring hangat mentari pagi mengingatkan

"Bangunlah … LangkahMu masih panjang … Teruslah berpijak … Dan ketahuilah … Aku masih ada bersamaMu … Selalu … Selalu ... Dan selama di izinkanNya"

Terima kasih mentari pagiKu …
Kini Kusadar …
Engkaulah pemberi semangat hidupKu selamanya ...


__;SEMOGA;__

8/10/2008

Ngarai Kehidupan


Betapa Tololnya Kita hidup di bumi yang satu, minum dari air yang sama, menghirup udara melalui langit yang serupa, namun tidak pernah ada kesatuan dan kedamaian. Sebaliknya yang terjadi justru kekacauan yang hanya Mengukur Kemanusiaan seseorang bukan dari kapasitasnya sebagai manusia, melainkan karena status sosialnya, harta kekayaannya, jabatannya, dan golongannya. Padahal esensi yang demikian hanya merupakan batasan, bukan prinsip ekstensial dari kemanusiaan itu sendiri. Tuhan Yang Mahabesar Tak Perlu Anda Bela oleh siapapun. Sebab bagaimana mungkin kita yang serba terbatas ini membela Tuhan yang serba tak terbatas ?? Oleh karena itu perang suci atas nama Tuhan sudah salah kaprah dari awal dan Jalan Kehidupan adalah wajar bila hidup tak selamanya bahagia. Sebab pada hakikatnya, jalan untuk menempuh hidup itu berliku, penuh duri, bahkan memiliki tikungan tajam yang boleh jadi melempar kita ke dalam jurang relativitas.


Manusia dan jurang, memang selalu membuat aku gelisah...
Si macan-kumbang melompat ke nganga-jurang itu,
seperti yang jatuh ke kedalaman, tubuh dan ekornya beruir-uir
dan kegelapan jurang pun menerkam keutuhan kulitnya yang
hitam: "Pekat!"
seterusnya: "Lorong yang jauh..."
keesokannya: sehabis keramas dan sehabis menulis satu-bait dari alur lanskap yang pahit,
lantunan mengemasi baju dan perkakasnya, memelukku erat, lalu seperti cinta-pertama mencium kening dan berbisik:
"Sayangku, sudah waktunya aku pergi, jagalah dirimu sendiri!"
dan hup! Lantunan pun melompat ke tembok-kamar bekas tempat ke luar si macan-kumbang itu, dan hilang dilipat kerahasiaan semen dan kapur,
kerahasiaan yang membersit: "Membersit..."


Tak kan ada yang gratis dalam hidup ini. Semua harus diperjuangkan. Ongkos setiap perjuangan tergantung kondisi yang anda inginkan. Orang Jawa punya pepatah “Ora ono gunung sing ra ono jurange." Tidak ada gunung yang tak berngarai (jurang). Semakin tinggi gunung maka semakin dalam pulalah jurangnya. Orang Jawa yang hidup dengan Filosofi alam “Adat ono ing rogo, rogo ono ing Qur'an” sangat meyakini hukum alam ini. Jika ingin mencapai puncak gunung anda harus melalui empat kondisi jalan (Istilah filosofi Jawa: Papat Kalimo Pancer), yaitu empat dari lima/satu titik penjuru. Apabila anda tidak bisa melalui empat kondisi jalan ini maka jangan harap anda akan sampai dipuncak gunung dengan kedamaian dan rasa syukur.

Pertama„
Jalan Mendatar, sebelum anda mendaki maka anda akan melewati jalan mendatar ditengah hutan belantara. Anda bisa memilih jalan yang sudah dilalui orang lain dimana semua sudah terdapat jejaknya dan tentu saja aman. Atau anda dapat memilih jalur lain namun anda harus siap menerima resiko kehilangan arah atau dimangsa binatang buas. Didalam hutan banyak sekali jebakan yang bisa membuat anda jatuh. Semua tergantung pilihan anda. Yang pasti sukses anda adalah kualitas anda. Apakah ingin hidup sebagai follower atau sebagai inovator dan creator.

Kedua,,
Jalan Mendaki, untuk mencapai puncak maka anda harus menguatkan otot dan bahu untuk mendaki. Anda tidak bisa berlari karena itu akan menguras energi anda sendiri. Sementara anda sendiri tidak tau bila akan sampai dipuncak. Artinya anda harus mempunyai emosi yang terkendali dalam melihat puncak gunung. Dalam mendakipun anda harus rela untuk berhenti barang sejenak bila memang lelah. Bila anda kehilangan arah maka cobalah berhenti barang sejenak. Pandanglah langkah yang sudah terlewati, tataplah puncak gunung itu. Kemudian pikirkan dan analisa langkah yang telah anda lalui. Ada banyak gunung yang kesemuanya memiliki tinggi yang berbeda. Sesuaikan kadar kemampuan diri dan tentukan mana puncak yang akan anda raih maka itu adalah bijaksanaan. Cerita kaum sufi menyebutkan tentang seekor Siput merayap mendaki pohon murbay yang sangat tinggi.

Sang burung mentertawakan Siput sambil berteriak:

“Hii...Siput...apa yang engkau lakukan. Pohon murbay ini tidak sedang tidak berbuah dan berdaun karena musim gugur. Dan lagi sampai kapan dirimu tiba dipuncak pohon ini.“

Siput dengan tenang terus merayapi pohon itu dan menjawab:

“Saya tau pohon ini sedang tidak berbuah dan berdaun tapi setidaknya ketika musim semi datang , saya sudah sampai dipuncak pohon untuk memakan daun murbai.”

Untuk mencapai puncak tidak hanya dibutuhkan kekuatan fisik dan fasilitas yang tersedia tapi lebih dari pada itu adalah kemampuan melihat dari tabir kegegelapan. Melihat dengan kekuatan hati. Itu semua bersumber dari satu sikap “SABAR dan IKHLAS.“

Ketiga,,
"Jalan melereng." Ketika mendaki, maka kondisi yang tidak bisa anda hindari adalah jalan melereng (jalan melingkar) mengitari tebing gunung. Disekitar anda terdapat jurang yang sangat dalam. Semakin tinggi puncak gunung yang hendak anda capai maka semakin dalam jurang yang ada disamping jalan anda. Dilereng gunung ini, selalu jalannya lincin. Anda akan mudah sekali tergelincir. Jalan mencapai puncak memang mengharuskan anda menempuh jalan berliku. Memang sangat menyakitkan bila anda harus terjatuh, namun anda harus bangkit untuk mencoba lagi dan mencoba lagi. Yang pasti kesuksesan itu adalah reward terindah dari perjuangan tanpa lelah. Sikap hati-hati dan bijaksana mengendalikan emosi meredam ego adalah sangat penting bila anda ingin selamat sampai dipuncak.

Keempat,,
“Jalan menurun.“ Ketika anda telah berhasil sampai dipuncak maka tidak ada yang dapat anda rasakan kecuali puas. Bahwa anda telah menjadi bagian dari sejumlah orang yang berhasil mencapai puncak dengan melewati berbagai tantangan. Banyak pula yang gagal mencapai puncak. Berhenti sebatas lereng gunung. Tetapi lambat atau cepat andapun harus ikhlas untuk turun. Jalan menurunpun tidaklah mudah. Ia membutuhkan kekuatan emosi dan kesabaran mengitari lereng gunung dan menghadapi dalamnya jurang kehidupan.

...............................fiuhhh!
Banyak orang hanya melihat dan berhasrat meraih keindahan puncak gunung tapi tidak siap melewati pendakian dan menyusuri lereng gunung. Yang mereka lakukan adalah melakukan jalan pintas. Menyogok untuk menjadi pemenang. Menjilat agar mendapat jabatan. Berjudi agar cepat kaya. Merampok, korupsi agar cepat sukses. Bila mereka sampai dipuncak dengan cara ini maka tentu pula mereka tidak siap bila harus turun. Karena mereka tidak pernah tau cara untuk turun. Mereka tidak pernah dapat menarik hikmah kemanusiaan dari keberadaannya dipuncak karena mereka melangkah diluar hukum alam. Naik cepat dan turun dengan cepat merupakan bukan turun secara alami tapi terjun bebas!!...

Hitler mati di bunker bawah tanah setelah dihujani Bom oleh pihak sekutu (pernyataan lain tidak mengatakan demikian). JF. Kennedy mati ditembak. Mahatma Gandi mati ditembak. Jhon Lenon juga mati ditembak. Napoleon mati di pulau Elba karena diracuni. Alexander mati karena diracuni. Mereka semua tercatat dalam sejarah sebagai orang hebat tapi berakhir jatuh dengan sangat menyedihkan. Tapi berlainan dengan Rasullullah Muhammad SAW, turun menuju keabadian sang pencipta Allah SWT dengan penuh kedamaian setelah mencapai puncak kemenangan gilang gemilang. Kematian adalah jalan turun dari puncak kehidupan dan disambutnya dengan senyum. Anehnya di akhir hayatnya Nabi menolak fasilitas kemudahan tanpa rasa sakit dari malaikat untuk melepaskan ruhnya. Lagi lagi dia tidak ingin menolak sunnatullah "TAKDIR."

Kehidupan yang sedang kita lalui ini adalah tidak lebih sama. Semuanya melalui process mencapai puncak walau puncaknya berbeda-beda kadar ketinggiannya pada masing-masing orang. Semakin tinggi puncak yang hendak kita capai maka semakin besar pula tantangan yang harus dihadapi. Jalan mendatar, mendaki, melereng dan akhirnya harus turun dari puncak. Kita tidak bisa menghindari hukum alam ini. Sunnatullah... Penolakan hukum alam akan menimbulkan pradox, kehancuran bagi diri kita sendiri juga bagi kehidupan umat manusia di planet bumi ini. Kakek saya mengingatkan “Ndunyo mbentangi ajining guru" (alam terbentang menjadi guru) dan Alhamdulillah itu selalu saya ingat dalam mengarungi kehidupan ini “Ngrantau'o ndisik, neng kene durung kanggo." Makna dari ungkapan ini adalah raihlah keberhasilan dengan banyak membaca, melihat dan mendengar karena beban untukMu sudah menanti.

--„menjadi rahmat bagi alam semesta„--